- Home >
- Pemikiran Tokoh >
- Imam Al Ghozali dan Pemikirannya Tentang Pendidikan
Sabtu, 03 Februari 2018
Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan
Landasana filosofis mengenai pendidikan ialah
filsafat yang kita dianut dan kita yakini adalah berdasarkan agama Islam, maka
sebagai konsekuensinya logik, kalau kita berusaha dan selanjutnya melandaskan
filsafat pendidikan atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya.
Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang
akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan tidak dapat dilepaskan
dari filsafat pendidikan Islam, karena yang dikerjakan oleh kita sebagai umat
islam pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang menurut pemahaman orang
islam menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Oleh karena itu,
perlu menelusuri landasan filosofis pendidikan Islam yang digagas oleh para
pemikir maupun praktisi pendidikan Islam.
Pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang
pendidikan bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa
sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan
dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib
Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami
filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan
filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses
pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah
pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang
orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain,
pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan
secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan
mengenai hakikat pendidikan Islam.
Sebagai seorang ulama besar, filosuf di zamannya,
al-Ghazali dikenal sebagai ulama yang multidisipliner dalam keilmuan. Oleh
karena itu, dia memiliki banyak karangan kitab yang membahas tentang berbagai
keilmuan Islam. Berbagai referensi yang ada menuliskan kalau dia mengarang
tidak kurang 700 kitab sepanjang hidupnya. Namun al-Dzahabi dengan sumber yang
kuat mengatakan bahwa jumlah kitab yang realistis dikarang oleh al-Ghazali
sepanjang hidupnya hanya sekitar 70-80 kitab saja, sebagaimana yang sampai
kepada generasi masa kini juga kurang lebih berjumlah 70-80 kitab. Adapun
cerita mengenai al-Ghazali mengarang 700 kitab, boleh jadi benar apabila
dihitung dengan ditambahkan lembaran-lembaran berisi syair, nasehat-nasehat
pendek, risalah yang ditulis oleh Hujjat al-Islam selama hidupnya.
Ada beberapa kitab, dari puluhan kitab yang dikarang
oleh al-Ghazali yang berisi tentang pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan,
baik pembahasan tersebut dibahas dalam satu kitab khusus atau bercampur dengan
pembahasan-pembahasan tentang tema lainnya. Beberapa kitab tersebut adalah
Ihya' Ulum al-Din, Murshid al-Amin, Bidayah al-Hidayah, Ayyuha al-Walad,
Mi'yarul Ilmi, Mizan al Amal, Fatihatul Ulum.
Pemikiran-pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan
sebagaimana tertulis di dalam kitab-kitabnya adalah meliputi klasifikasi ilmu,
cara memperoleh pengetahuan, konsep guru serta murid di dalam pendidikan Islam.
1.
Klasifikasi Ilmu
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu dalam beberapa
kelompok yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda antara yang
satu dengan yang lain. Di samping itu, macam-macam ilmu dalam perspektif
al-Ghazali tersebut dapat memberikan nilai-nilai sesuai dengan kepentingan dan
kebutuhan bagi pelajar.
Menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh
Jalaluddin dan Usman Said, al-Ghazali memandang ilmu dari dua segi, yaitu ilmu
sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama ilmu dibagi menjadi
ilmu h}issiyah, ilmu aqliyyah, dan ilmu ladunni. Sedangkan ilmu sebagai obyek
dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan
ilmu yang terpuji dalam batas-batas tertentu.
Ilmu yang tercela adalah ilmu yang tidak dapat
mendatangkan faedah atau tidak bermanfaat bagi manusia baik di dunia dan
akhirat, misalnya ilmu sihir, ilmu perbintangan, ilmu ramalan atau perdukunan.
Bahkan, bila ilmu itu diamalkan oleh manusia akan mendatangkan mudlarat dan
akan meragukan terhadap kebenaran Tuhan, oleh karenanya ilmu itu harus dijauhi.
Ilmu yang terpuji adalah ilmu yang mendatangkan
kebersihan jiwa dari tipu daya dan kerusakan serta akan mengajak manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu dalam golongan ini semisal ilmu tauhid,
fiqh, akhlaq.
Selanjutnya ilmu yang terpuji dalam taraf tertentu,
yang tidak boleh diperdalam, adalah ilmu-ilmu yang apabila manusia mendalami
pengkajiannya pasti menyebabkan kekacauan pemikiran dan keragu-raguan, dan
mungkin mendatangkan kekufuran, seperti ilmu filsafat. Jadi dalam perspektif
al-Ghazali, ilmu itu tidak bebas nilai, ilmu pengetahuan apapun yang dipelajari
harus dikaitkan dengan moral dan nilai guna.
Berdasarkan ketiga kelompok ilmu tersebut,
al-Ghazali membagi lagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok dari segi moral dan
manfaat, yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim (fard}u 'ain) dan
ilmu yang fard}u kifayah dalam arti tidak wajib diketahui oleh segenap orang
Islam, tetapi harus ada orang Islam yang mempelajarinya.
2.
Cara Mendapatkan
Ilmu
Untuk mendapatkan ilmu, Al-Ghazali menyebutkan ada
dua cara. Pertama, yaitu mengikuti metode ulama, dan yang kedua mengikuti
metode sufiyyah.
Metode pertama, metode ilmuwan/scientist adalah
suatu jalan bagaimana seseorang mendapatkan hakikat pengetahuan melalui
pembelajaran, berpikir, dialog, penelitian, dan sejenisnya. Al-Ghazali
mengelompokkan dan menyebut ilmu-ilmu untuk mencapai hakikat pengetahuan dengan
istilah ilmu mu'amalah. Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan.
Selanjutnya, atau yang kedua, metode sufistik adalah
suatu jalan bagaimana seseorang mencapai hakikat pengetahuan melalui
pembersihan nafsu dan hati. Sufistik tidak menekankan pembelajaran teori-teori,
postulat, atau aksioma seperti halnya metode ulama. Sebagai gantinya, sufistik
menekankan perilaku yang baik di kehidupan. Al-Ghazali menyebut ilmu-ilmu dalam
jalan sufistik melalui sebutan ilmu mukashafah dan ilmu tasawwuf. Kemudian,
cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan itu, dia menyebutnya dengan
istilah tazkiyat al-nafs.
Selain menyebutkan cara memperoleh ilmu secara
teoritis sebagaimana disebut di atas, al-Ghazali juga menjelaskan cara-cara
praktis dalam mencari ilmu yang didominasi oleh pemikiran tasawwuf. Sebagai
contoh al-Ghazali menganjurkan kepada setiap orang yang menuntut ilmu agar
memulai belajarnya dengan kebersihan hati, karena yang demikian akan
mendatangkan kesuksesan di dalam belajar. Selain itu al-Ghazali juga
mengajarkan kepada pencari ilmu untuk tidak sombong (menganggap remeh) terhadap
ilmu dan juga selalu menghormati guru. Hal lain yang juga disebutkan oleh
Hujjatul Islam ialah agar pencari ilmu, memulai kegiatan belajarnya dengan niat
yang bagus dan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah dan mengharap
ridla-Nya, tidak untuk mencari pangkat, harta, dan kekuasaan.